Nasionalisme dan Peran Kemerdekaan dalam Perspektif Lokal | Oleh: Iskandar Balad


Pendahuluan
            Nasionalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata “Nasional” dan “isme”, yang merupakan paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri.[1] Sedangkan Ir. Soekarno mengatakan nasionalisme adalah sebuah pilar kekuatan bangsa terjajah untuk memperoleh kemerdekaannya.[2] Sedangkan kata perspektif berasal dari kosa kata bahasa Inggris “perspective” yang berarti track atau thariqoh yang sebenarnya, tetap melihat ke depan, atau pemandangan.[3] Dari pengertian tersebut dapat kita kembangkan bahwasanya perspektif dapat kita asumsikan sebagai bentuk sudut pandang dari suatu subjek. Dalam kajian ini penulis mengajak untuk melihat nasionalisme dalam rangka menjalin kemerdekaan melalui perspektif lokal.
            Adapun yang dimaksud dengan perspektif lokal ialah cara pandang ataupun sudut pandang mengenai sesuatu yang dalam kajian ini ialah tentang nasionalisme dan peran kemerdekaan oleh suatu komunitas ataupun masyarakat pada daerah tertentu. Komunitas atau masyarakat lokal di sini ditujukan kepada masyarakat betawi yang berada di daerah Pondok Aren, Tangerang Selatan.
            Pondok Aren ialah suatu daerah yang berstatus kecamatan dalam kota administrasi Tangerang Selatan, Banten, yang memiliki luas daerah 28.83 km2. Sebelum Kota Tangerang Selatan menjadi kota otonom, Pondok Aren merupakan salah satu kecamatan terluas di Kabupaten Tangerang dengan luas terbesar yaitu 2.988 km2. Kecamatan Pondok Aren merupakan pecahan dari Kecamatan Ciledug sebagai kecamatan induknya, dan masih merupakan Provinsi Jawa Barat.
            Menurut sejarahnya, mengapa diberi nama Pondok Aren? Karena pada zaman dahulu merupakan kampung besar yang terletak di Kelurahan Parigi Lama sebelah timur, Kelurahan Pondok Kacang Timur sebelah timur dan Kelurahan Pondok Aren tersebut. Kata “Aren”  berasal dari nama sebuah pohon yaitu poohon aren (Arenga pinnata) yang merukan sejenis palem-paleman yang banyak tumbuh di sekitar daerah tersebut.

Nasionalisme dalam Konteks Lampau
            Bila kita berbicara nasionalisme masa lampau, sangat erat kaitannya dan tidak dapat kita pisahkan dengan kejadian-kejadian sejarah dalam rangka merebut kemerdekaan. Banyak hal penting yang terekam dan tertulis dalam banyak buku-buku sejarah maupun arsip-arsip yang menceritakan pertumpahan darah, perjuangan rakyat, penindasan para penjajah terhadap hak dan martabat rakyat dan baku tembak dengan suasana mencekam.
Penulis hanya menggambarkan secara umum tentang nasionalisme lampau sebagaimana yang telah tertera pada paragraf di atas. Namun, penulis berpendapat dari pelbagai sumber sejarah dan cerita-cerita para orang-orang terdahulu selain yang telah disebutkan pada paragraf di atas, nasionalisme lampau juga banyak menceritakan situasi dan kondisi paska-kemerdekaan yang menggambarkan morat-marit kehidupan rakyat.
Nasionalisme dalam Konteks Kekinian
            Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa nasionalisme ialah sebuah rasa cinta akan bangsa dan tanah air maka dalam konteks waktu masa kini penulis berpendapat bahwa kita seharusnya tidak lagi berbicara nasionalisme pada seputar perang senjata maupun perang melawan penjajah. Dewasa ini seharusnya kita intens melakukan sesuatu yang berguna lagi bermanfaat untuk bangsa dan Negara guna mengisi dan menjalankan kemedekaan ini untuk melanjutkan dan menghargai perjuangan para pendahulu dan para pahlawan yang telah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya untuk merebut kemerdekaan sehingga bisa sampai pada Indonesia saat ini dan yang pasti juga dengan diiringi limpahan rahmat dari Sang Illahi.
            Perkembangan rasa nasionalisme saat ini lebih ditujukan kepada hal-hal yang bersifat kemajuan dan kemandirian bangsa dalam rangka meningkatkan kualitas dan harga diri bangsa di mata dunia dan bangsa-bangsa lain. Adapun bentuk aplikasi dari rasa nasionalisme saat ini di antaranya ialah mempertahankan nilai-nilai ideologi kebangsaan yang kita miliki sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para pendahulu kita. Selain itu, nasionalisme juga menjadi pupuk semangat segenap rakyat dan warga Negara untuk ambil andil di setiap aspek kehidupan karena saat ini kualitas hidup masyarakat juga menunjukkan kualitas suatu Negara maupun bangsa.
            Dewasa ini bukan lagi mengangkat senjata juga bukan lagi mengatur taktik strategi perang, melainkan mengatur siasat perkembangan dan kemajuan bangsa. Nasionalisme mesti dan harus tertuang dalam setiap langkah dan perputaran roda kehidupan setiap lapisan masyarakat sebagaimana contoh seorang atlet olahraga yang berambisi meraih juara terbaik untuk mengharumkan nama bangsa di kancah dunia, seorang pebisnis patut memanfaatkan setiap peluang dan sumberdaya yang kita miliki untuk kesejahteraan bangsa dan Negara itu lah sekilas gambaran nasionaisme dalam konteks kekinian.

Perspektif Lokal Pondok Aren
            Masyarakat Betawi Pondok Aren dalam menyikapi persoalan nasionalisme tidaklah memiliki banyak perbedaan dari khalayak pada umumnya. Dewasa ini mempersepsikan nasionalisme juga sebagai tonggak semangat mengisi kemerdekaan guna mempertahankan hidup sehari-hari. Sebagaimana observasi yang penulis lakukan terhadap pola kehidupan mereka[4] ialah nasionalisme itu mengalami pengerucutan makna pada sebagian dari mereka. Dari hasil observasi yang penulis lakukan ditambah pengalaman sehari-hari yang penulis alami di dalam tatanan dan system keseharian masyarakat Betawi Pondok Aren menggambarkan sesuatu yang unik. Apabila kita melihat kembali ke pengertian nasionalisme di atas, keunikan yang dimiliki oleh sebahagian masyarakat Betawi Pondok Aren ialah sebuah rasa bangga dan cinta terhadap kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari yang dimana dewasa ini bahkan telah menjadi sebuah budaya di kalangan mereka. Adapun sebuah keunikan tersebut dinamakan oleh masyarakat umum setempat[5] sebagai “Lele Sumur”.
Sebagaimana penulis juga berasal dari daerah Pondok Aren, maka secara tidak langsung penulis paham terhadap keseharian Betawi Pondok Aren. Penulis menyimpulkan bahwa Lele Sumur ialah istilah dari penganalogian keadaan suatu masyarakat yang di mana dalam masyarakat tersebut terdapat pola dan tingkah laku yang unik, diantaranya ialah masyarakat tersebut memiliki keberanian dan potensi-potensi bertindak dalam segala hal namun hanya terealisasi dalam ruang lingkup daerah sendiri.
            Bila kita cermati lebih dalam lagi dari istilah lele sumur di atas, maka timbulah persepsi bahwa masyarakat Betawi Pondok Aren merupakan masyarakat yang memiliki tingkat ke-arogansian yang cukup tinggi dan tanpa berpikir matang-matang dalam melakukan hal-hal yang dikehendakinya. Tetapi apakah benar terjadi adanya seperti itu? Bila kita tarik arti lain Lele Sumur adalah sebuah jagoan kandang ataupun jagoan wilayah yang memiliki pola dan cara beripikir sempit, tetapi banyak dari kalangan setempat tidak sepakat terhadap istilah penganalogian tersebut.
            Menurut beberapa tokoh setempat, sejatinya masyarakat Betawi Pondok Aren ialah masyarakat yang baik lagi memiliki rasa keberterimaan yang tinggi antara satu dengan yang lain termasuk kepada para pendatang sebagaimana yang dikatakan oleh tokoh muda setempat Ustad. Imam Sihabudin yang merupakan putra dari tokoh sekaligus guru dan ulama KH. Muhammad Tafsir. Bila dilihat dari keadaan situasi dan kondisi saat ini, apa yang dikatakan oleh Ustad. Imam memang benar adanya karena dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi Pondok Aren hidup berdampingan dengan para pendatang dari pelbagai penjuru tanah air.
            Bahkan jauh sebelumnya masyarakat Betawi Pondok Aren telah hidup rukun bersama dengan para pendatang semenjak masa-masa pendudukan penjajahan colonial Belanda serta pendudukan penjajah Jepang. Menurut tokoh orang tua setempat Hj. Kubil masyarakat Betawi Pondok Aren menjalani bagaimana susah payahnya dalam kondisi penjajahan kala itu tak terlepas pula dengan saling bantu-membantu dengan para pendatang baik itu dari daerah sunda maupun daerah jawa dan hal ini pun yang masih tetap terjalin hingga saat ini.
Namun dalam konteks kekinian, dengan bertambah banyaknya pendatang dari pelbagai penjuru tanah air, tak dapat dipungkiri banyak pula terjadi gesekan antar kebudayaan yang dibawa oleh para pendatang dengan budaya lokal setempat dalam hal ini ialah budaya dan sistem tatanan masyarakat Betawi yang ada. Menurut tokoh tetua kampung setempat membenarkan bila jelas terjadi adanya perubahan budaya yang diakibatkan oleh masuknya para pendatang. Maka dari itu terbentuklah sebuah proses akulturasi[6] ataupun pertemuan dua kebudayaan yang  berbeda. Berawal dari hal ini maka timbulah tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat Betawi Pondok Aren dalam rangka mempertahankan nilai-nilai budaya serta kehidupannya seiring dengan hadirnya para pendatang.
Masyarakat Betawi Pondok Aren memiliki cara sendiri dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi saat ini di dalam rangka menjalankan roda kemerdekaan dan mempertahankan nilai-nilai budaya yang mereka miliki. Seperti yang dikatakan oleh Ustad. Imam Sihabudin dalam wawancara yang dilakukan dengan penulis, beliau menjelaskan bahwa masyarakat Betawi Pondok Aren sampai saat ini mampu bertahan dari pengaruh-pengaruh budaya yang dibawa oleh para pendatang dengan cara memilah-milah dan memberi penilaian terhadap budaya yang dibawa oleh para pendatang namun tidak serta menolak langsung budaya-budaya tersebut. Adapun secara garis besar yang dikatakan beliau adalah jangan langsung mengecap buruk ataupun tidak benar kebiasaan para pendatang. Hal yang tidak bertentangan dengan budaya Betawi dan bisa pula diterima oleh masyarakat Betawi dapat berjalan berdampingan di kehidupan sehari-hari antara penduduk asli dengan para pendatang. Beliau menambahkan karena pada dasarnya maasyarakat Betawi sangat tinggi rasa keberterimaannya terhadap para pendatang. Namun apabila memang kebiasaan ataupun budaya yang dibawa oleh para pendatang tidak sesuai dan sangat bertolak belakang dengan budaya Betawi maka perlu ada dan perlu dilakukan tindakan pencegahan yang diawali dengan memanggil para pendatang tersebut dan segala pelbagai masalah yang ditimbulkan olehnya diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan.
Dengan adanya rasa keberterimaan yang tinggi terhadap para pendatang dan kedewasaan dalam rangka menyikapi perubahan-perubahan tersebut menandakan bahwasanya masyarakat Betawi Pondok Aren tidaklah seperti asumsi yang berkembang saat ini dengan istilah lele sumur yang menjadi penyakit bagi para pendatang. Penulis mengutip kata-kata dari Ustad. Imam Sihabudin yaitu ”kita orang Betawi jangan sampe jadi itu macam lele sumur, yang punya patil tajem kumis panjang tapi ngubek-ngubek di situ-situ aja. Tapi kita mesti jadi kaya ikan mas yang enak dagingnya mahal harganya maennya di tempat yang bagus”. Dari kutipan tersebut terdapat pesan-pesan moral yang sangat bijaksana dan dapat dijadikan bahan renungan bagi masyarakat Betawi pada umumnya dan bagi masyarakat Betawi Pondok Aren khususnya bahwa orang Betawi itu bukan orang yang arogan di wilayah sendiri tetapi tidak memiliki wibawa di mata orang lain, orang Betawi bukan orang yang hanya bisa menghabiskan warisan tetapi orang Betawi adalah orang yang mampu berpikir ke depan.
Oleh karena itu dapat disaksikan secara gamblang fakta dan kondisi kekinian masyarakat Betawi khususnya masyarakat Betawi Pondok Aren mampu hidup dan eksis berdampingan dengan masyarakat pendatang dan membentuk suatu keberagaman yang unik dalam rangka menjalankan peran sebagai warga Negara dalam mengisi kemerdekaan.

Nasionalisme dan Peran Kemerdekaan dalam Persepektif Lokal
Masyarakat Betawi Pondok Aren pada dasarnya dari masa penjajahan hingga saat ini ialah menjalani aktifitas sebagai petani. Menyambung hidup dari hasil bercocok tanam di lahan garapan sendiri karena kala itu dengan situasi dan kondisi yang sulit. Setelah masa merebut kemerdekaan dari para penjajah usai, dewasa ini dihadapkan dalam situasi yang tak kalah sulit juga dari sebelumnya yang di mana berkaitan dengan belum stabilnya kondisi Indonesia paska proklamasi. Setelah perang kemerdekaan usai, Indonesia dihadapkan dengan pergerakan yang mengatasnamakan pergerakan rakyat yaitu sebuah gerakan pemberontakan oleh sekelompok masyarakat yang bermaksud untuk mengambil alih kekuasaan Negara Republik Indonesia dari tampuk kepemimpinan yang ada ataupun yang disebut sebagai G30SPKI. Namun penulis tidak akan mengulas peristiwa pemberontakan tersebut karena itu bukanlah pokok pembahasan dan tujuan penulisan karya tulis ini.
Pada masa itu menurut yang diceritakan oleh Hj. Kubil, huru-hara juga terjadi hingga ke wilayah Pondok Aren. Pada masa itu masyarakat merasakan situasi yang sangat sulit dikarenakan apabila ada sesorang yang salah berbicara ataupun bertindak maka banyak yang menjadi korban pembunuhan. Masyarakat pun tak ayal menjadi korban perampasan hewan-hewan ternak yang dimilikinya. Kala itu mereka yang terlibat huru-hara dengan pemerintah berkuasa saat itu disebut ”Gerombolan” ujar sesepuh kampung yang tengah mengisi hari-hari tuanya bersama keluarga. Saat itu banyak masyarakat yang apabila memiliki hewan ternak dan terlihat oleh para gerombolan tersebut dan diminta olehnya, maka tidak hanya hewannya yang dirampas melainkan sang pemilik hewan ternak itu juga ikut dieksekusi oleh para gerombolan tersebut. Tidak hanya tentang persoalan perampasan semata, apabila masyarakat tahu tentang keberadaan gerombolan tersebut dan ditanya oleh aparat yang saat itu masyarakat menyebutnya dengan istilah ”pulisi” dan memberitahukan di mana mereka bersembunyi, tak jarang pula masyarakat menjadi korban pembunuhan. Hj. Kubil atau yang akrab dipanggil dengan “Emak Haji”[7] menambahkan dari kejadian-kejadian tersebut apabila datang gerombolan-gerombolan maupun polisi, mereka memilih bersembunyi ataupun tutup mulut tentang informasi keberadaan masing-masing. Bahkan apabila sampai terjadi pecah huru-hara antara gerombolan dengan para aparat, mereka berlindung di bawah bale[8] karena takut menjadi sasaran huru-hara tersebut. Menurut Hj. Kubil setelah masa-masa sulit itu berlalu, dewasa ini dapat menjalankan kehidupan dengan aman tanpa ada perasaan cemas akan keselamatan. Masyarakat Betawi Pondok Aren dengan para pendatang kala itu mulai membangun kembali kehidupan yang baru bersama-sama guna mewujudkan tatanan hidup yang dapat dirasakan oleh generasi saat ini.
Berbeda generasi sudah pasti pula berbeda cara dan pola berpikir masyarakat dalam menyikapi sesuatu tak terkecuali terhadap rasa nasionalisme dan peran dalam mengisi kemerdekaan. Menurut keterangan dari Hj. Kubil pada masa itu masyarakat Betawi Pondok Aren banyak yang memilih putus sekolah untuk bekerja sebagai petani.
Penulis berpendapat setiap perkembangan zaman juga pasti selalu diirngi oleh perkembangan pola berpikir serta kualitas masyarakat di dalamnnya. Dalam perkembangannya masyarakat Betawi Pondok Aren saat ini tidak hanya mengisi kemerdekaan dengan bertani, namun telah lahir putra-putra betawi yang memiliki wawasan serta kesadaran akan pentingnya peningkatan kualitas kehidupan.
Berawal dari persepsi untuk selalu bekerja keras serta melakukan hal yang bermanfaat serta rukun dalam bermasyarakat dengan pendatang dalam mengisi kemerdekaan, sebagaimana yang diutarakan oleh Hj. Kubil dewasa ini telah banyak mengalami kemajuan dan perkembangan di setiap generasi yang baru dari masyarakat Betawi Pondok Aren.
Menurut KH. Muhammad Tafsir sebagai tokoh ulama dan guru masyarakat Betawi Pondok Aren yang lahir paska kemerdekaan, kemerdekaan ialah sebuah tonggak kebebasan untuk meningkatkan kualitas bangsa baik dari segi dan sudut pandang agama, akhlak, aqidah, maupun pendidikan serta derajat kehidupan di dalamnya. Pelbagai cara dapat dilakukan untuk mewujudkan arti dari kemerdekaan tersebut. Beliau menjelaskan dalam wawancara bersama penulis bahwa semua itu dapat terwujud dengan tetap menjaga nilai-nilai agama di setiap diri masyarakat. Setiap perkembangan juga pasti ada perubahan, maka dari itu sebagai upaya mengantisipasi setiap perubahan yang ada, perlu ditanamkan nilai-nilai keimanan serta wawasan dan pengetahuan yang cukup karena setiap perubahan yang datang tidak hanya membawa pengaruh yang positif tetapi juga diiringi dengan pengaruh negatif. Berangkat dari asumsi tersebut KH. Muhammad Tafsir senantiasa mengajak terhadap masyarakat Betawi Pondok Aren untuk selalu bersyukur dalam menjalani kemerdekaan, melakukan hal-hal yang positif, serta mengisinya dengan mengembangkan kependidikan di kalangan masyarakat.
 Dalam pelaksanaannya sudah pasti banyak tantangan dan ujian, sejak tahun 1960-1970  secara umum kemerdekaan diisi dengan hal-hal yang bersifat membangun semangat nasionalisme ujar KH. Muhammad Tafsir. Begitu pula tanpa terkecuali saat-saat peringatan proklamasi, masyarakat berkumpul bersama mengadakan syukuran serta perlombaan-perlombaan khas 17 Agustusan yang terbukti dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air. Namun dalam konteks kekinian beliau juga menandaskan pelbagai ujian dan tantangannya yang dihadapi oleh masyarakat Betawi Pondok Aren saat ini yaitu berupa kemunduran moral akibat arus globalisasi seiring perkembangan zaman. Oleh karena itu, perlu adanya benteng kokoh guna mencegah masyarakat yang terlena akan pengaruh arus perkembangan zaman khususnya kepada masyarakat muda Betawi Pondok Aren.
Menyikapi nasionalisme dan peran kemerdekaan tak bisa kita kesampingkan peran para pemuda. Sejak perjuangan untuk merebut kemerdekaan para pemuda menjadi aktor utama tonggak perjuangan dan semangat dalam meraih kemerdekaan. Begitu besarnya pengaruh pemuda dalam setiap perjuangan bangsa, sampai Bung Karno memberikan sebuah kata-kata penuh arti dan makna serta kaya akan pesan optimisme dan semangat yang tinggi “beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia”, berangkat dari kata-kata sang proklamator menandakan bahwa masa depan bangsa ada di tangan para pemuda penerus bangsa. Namun bagaimana persepsi kalangan masyarakat muda khususnya masyarakat muda Betawi Pondok Aren dalam hal nasionalisme dan kemerdekaan cukup menarik jika kita juga menuangkannya dalam sebuah tulisan yang nyata.
Kemerdekaan dapat dikatakan sebuah hal yang merdeka apabila telah memenuhi beberapa hal. Terlepas dari bebasnya bangsa dan Negara dari belenggu penjajah, belum sempurna dikatakan merdeka apabila belum dirasakan secara nyata kesejahteraan, keadilan, pendidikan, serta kesehatan yang layak bagi setiap lapisan masyarakat, begitulah ujar Ustad. Imam Sihabudin selaku perwakilan tokoh muda masyarakat Betawi Pondok Aren. Dewasa ini seiring perkembangan zaman dari waktu ke waktu telah banyak menghasilkan tokoh-tokoh kritis yang berasal dari masyarakat Betawi, tak terkecuali masyarakat Betawi Pondok Aren.
Dalam konteks kajian peran kemerdekaan oleh kalangan muda, masyarakat Betawi Pondok Aren menyadari pentingnya pendidikan bagi generasi muda. Hal ini terbukti dengan banyaknya putra dan putri Betawi Pondok Aren yang saat ini telah mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Bahkan tak sedikit pula kalangan muda Betawi Pondok Aren yang masuk ke dalam dunia politik sebagai anggota dewan Perwakilan Daerah (DPRD) dalam rangka menyampaikan suara dan aspirasi masyarakat guna mewujudkan arti kemerdekaan yang telah disebutkan di atas. Selain itu Ustad. Imam Sihabudin menambahkan peran yang harus dan sedang dilakukan oleh kalangan muda Betawi Pondok Aren secara garis besar ialah bergerak, belajar, dan bekerja. Bergerak berarti harus dapat melihat jauh ke arah perkembangan ke depan; belajar berarti harus memiliki ilmu dan wawasan yang cukup untuk bertindak; dan bekerja berarti harus mau membuat perubahan dan bertindak untuk bangsa dan Negara.




[1] Arti nasionalisme, http://Kbbi.web.id/. Diakses pada: Juni 2016.
[2] Rahayu, Minto, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa, Jakarta: Grasindo., dalam artikel online pada laman: Pengertian Nasionalisme menurut para Ahli, http://www.pengertianahli.com/. Diakses pada: Juni 2016.
[3] Echols, John M., dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1983, cet. Ke-12, hal.426., yang dikutip dalam: Saidun Derani, Ulama Betawi Perspektif Sejarah, Jakarta: Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
[4] Maksud penulis dengan mereka ialah masyarakat Betawi Pondok Aren
[5] Maksud dari masyarakat umum setempat ialah masyarakat Pondok Aren
[6] Akulturasi dapat didefinisikan sebagai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1980)).
[7] Emak Haji adalah istilah yang digunakan masyarakat Betawi untuk memanggil tokoh sesepuh dan juga telah melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.
[8] Bale adalah sebutan untuk dipan tempat berbaring atau pembaringan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Karena Ikatan Membuat Aku Dan Kamu Menjadi Kita”

Bersama Allah Aku Tak Lagi Mengenal Kata Bersedih

Memahami Perempuan: Tak Segampang itu