Memahami Perempuan: Tak Segampang itu



Oleh: Dedi Mursadi

Memahami Perempuan: Tak Segampang Itu

Tulisan yang saya buat ini agak ringan, renyah, manis, gurih dan sedikit pedas. Seperti menu buka puasa kita di waktu Maghrib. Dengan es teh manis atau es buah. Ditambah beberapa gorengan dan lontong yang dilengkapi sedikit sambal, saus dan cabai hijau, dan beberapa cemilan lain yang rasanya gurih dan renyah. Serta buah manis sebagai pencuci mulut. Balas dendam karena seharian tak makan dan minum.

Ketika membahas tentang perempuan, maka yang terlintas dalam benak beberapa orang pada umumnya adalah orang yang maha benar dan tidak mau salah sedikitpun. Meskipun salah, perempuan akan tetap mengaku benar.

Bahkan ada rumus yang mengatakan seperti ini, “Rumus pertama, Perempuan selalu benar. Rumus kedua, kalau perempuan salah, maka kembali ke rumus yang pertama.” Rumus ini berlaku untuk mayoritas di kalangan perempuan. Walau tidak semua sepakat, tetapi pada hakikatnya perempuan tidak ingin disalahkan dan tidak akan mengakui kalau ia salah.

Menurut nugroho disebutkan bahwa “perempuan merupakan manusia yang memiliki alat reproduksi, seperti Rahim, saluran untuk melahirkan, mempunyai sel telur, dan mempunyai ketentuan biologis atau sering disebut kodrat (ketentuan tuhan).”

Saya ingin memberikan persepsi, mungkin kodrat yang dimaksud Nugroho ini ada hubungannya dengan rumus perempuan yang saya sampaikan di atas. Perempuan yang selalu benar, bahkan ketika salah sekali pun.

Perempuan berasal dari Bahasa arab yaitu al-mar’ah, jamaknya adalah al-nisaa’ Al mar’ah yaitu artinya wanita, perempuan dewasa atau putri dewasa. Sedangkan kata an-nisaa berarti gender perempuan, sepadan dengan kata arab ar-rijal yang berarti gender laki-laki.

Al Mar’ah asal katanya yaitu Muru’ah yaitu yang mempunyai beberapa makna di dalamnya. Pertama yaitu yang suka tampil indah. Pada dasarnya perempuan itu cenderung pada keindahan, kalau sering kita lihat bahwa perempuan itu sering memakai pakaian yang bagus, mencari tempat heeling yang indah, tempat kopi yang estetik. 

Berfoto dengan background yang sesuai dengan pakaiannya, dan berdandan atau mempercantik diri ketika akan menghadiri sebuah acara atau kegiatan yang dihadiri khalayak ramai.

Kemudian perempuan mempunyai sifat perasa yang sangat dalam. Di Arab ada salah satu peribahasa yang sangat terkenal dan maknanya sangat dalam, yaitu “Al Mar’atu Kal Mir’ah”. Mir’ah itu cermin, perempuan itu diibaratkan seperti cermin.

Saya sangat tertarik dengan peribahasa tersebut. Kemudian mencoba memberikan contoh peribahasa tersebut dengan kehidupan perempuan saat ini. Kalau kita perhatikan memang perempuan sangat tidak bisa jauh dengan cermin. 

Ketika di motor mereka berkaca di cermin spion, masuk ke ruangan, main handphone, ke toilet, dan sebelum bertemu dengan seseorang dan lain sebagainya perempuan akan lebih sering bercermin untuk memastikan dirinya indah atau tidak ada celah kekurangan yang tampak.

Namun ada yang paling menarik untuk dibahas yaitu bagian dari sensitifitas cermin. Cermin ketika dijatuhkan atau bahkan kita lemparkan, maka akan pecah tak terurai dan membahayakan bagi yang memegangnya. Apakah cermin itu bisa kita susun kembali? Jelas bisa disusun kembali, tetapi tidak akan mampu memantulkan bayangan yang sempurna dari sebelumnya, bahkan saat mengumpukan pecahan cermin harus berhati-hati.

Maka, sama halnya dengan perempuan, seperti peribahasa Arab yang saya sampaikan di atas. “Al Mar’atu Kal Mir’ah”. Perempuan itu mempunyai sifat perasa seperti cermin. Senang menampilkan keindahan, tetapi ketika jatuh dan pecah. Maka akan pecah tak terurai dan sulit untuk disatukan seperti sediakala.

Ketika perempuan terlukai dan tersakiti. Sebenarnya perempuan itu cepat untuk memaafkan, tetapi sulit melupakan apa yang pernah dialaminya. Perempuan akan terus mengingat akan hal-hal buruk dan menyakitkan yang diperbuat seseorang pada dirinya dan sulit untuk melupakannya.

Sering kita melihat sebuah video-video yang menampilkan sepasang kekasih dan perempuan, si lelaki membantu perempuan lain dalam suatu hal, kemudian si perempuan mengucapkan “terima kasih” dan dibalas ucapan “sama-sama” oleh si lelaki. Pasangannya yang mendengar itu lantas menjadikan ucapan “sama-sama” itu sebagai suatu bahan yang menyindir si lelaki dalam segala hal.

Kata nisa yaitu gender perempuan. Nisa berasal dari kata nasa, yaitu senang mengungkapkan apa yang dirasakannya. Sering kita lihat perempuan senang curhat-curhatan kepada teman-temannya saat sedang berkumpul. Baik itu curhat permasalahan perkuliahan, organisasi, persahabatan, pekerjaan, dan bahkan yang lebih sering percintaan.

Namun dari hal-hal yang sering diungkapkan wanita, terkadang wanita pun melebihi pembahasan yang seharusnya, yang tidak seharusnya keluar dari mulutnya, justru keluar. Dari mata menuju ke lisan, dari hati menuju ke lisan.

“Tau gak sih, si dia itu lagi deket sama anak fakultas ini tau”

“Sumpah sebel banget, masa nilai ulangan aku dapet nilai segini.”

“Dia itu Cuma numpang nama doang di kelompok.”

“Sumpah sebel banget sama dosennya.”

“Bos kerja gua marah mulu, benci banget.”

“Baju dia jelek banget yaa, gak pantes dilihatnya.”

Beberapa ucapan tersebut sering kita dapati dalam percakapan perempuan. Mereka senang mengungkapkan apa yang ia rasakan. Namun tidak hanya itu, yang bermakna negatif. Tak jarang juga perempuan mengungkapkan hal-hal yang bernada positif dari hobinya yang suka mengungkapkan itu.

“Sumpah dosennya ganteng banget tau.”

“Tau gak sih, seneng banget nilai aku A.”

“Makanannya enak banget, gak ngecewain.”

Rasa-rasanya wajar memang ketika kata nisa yang artinya adalah gender wanita atau perempuan-perempuan. Dan asal kata nisa adalah nasa yang artinya suka mengungkapkan apa yang dia rasakan dengan contoh dialog di atas. 

Maka, perempuan ketika sedang kumpul dengan teman perempuannya, sudah pasti dia mencurahkan semua yang ia rasakan kepada perempuan lain.

Namun, ada beberapa hal memang yang harus diperhatikan, yaitu jangan para perempuan sampai berlebihan dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, terlebih yang ditakutkan menyakiti perasaan orang lain dalam ungkapan yang ia sampaikan.

Perempuan bisa lebih selektif dalam pemilihan kosa kata atau kalimat yang akan ia sampaikan, sehingga tidak menyakiti perasaan orang lain dan ia pun tidak terkena dosa gibah.



Penulis: Dedi Mursadi (Ketua Umum PK IMM FIP UMJ 2022-2023)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Karena Ikatan Membuat Aku Dan Kamu Menjadi Kita”

Bersama Allah Aku Tak Lagi Mengenal Kata Bersedih