TERSENYUMLAH GADIS BERMATA SENDU

Anggitha duduk di sudut kamar, memandangi rintik hujan mengetuk jendelanya. Gadis berumur 17 itu memeluk bonekanya, boneka kucing berwarna putih kucel setinggi 1 meter yang paling dia sayang. Tangis belum juga berhenti keluar dari mata Anggitha. 
“Fubu, hati aku sakit. Kenapa dia tega sekali?” Anggitha semakin erat memeluk boneka kucing penuh jahitan yang sudah kumel bernama Fubu itu.
Anggitha selalu mengadu apa pun pada Fubu, dari saat tangannya patah karena jatuh dari sepeda sewaktu kecil, saat semangatnya patah karena tidak masuk sekolah idamannya, hingga saat hatinya patah karena dikhianati sang kekasih. Fubu lah pengganti bunda yang tak pernah sempat ditemuinya, tempat Anggitha berkeluh kesah.
“Anggit, makan dulu dong, jangan seperti ini terus.” Suara sang ayah terdengar dari seberang pintu sembari mengetuk. Anggitha tidak menjawab. “Anggit makan dulu yuk. Bahkan menangis pun butuh tenaga.” Kata sang ayah. Masih tidak ada jawaban. Sang ayah ingin mengetuk lagi, tetiba pintu dibuka. Anggitha menunduk, wajahnya tertutup poni yang kusut.
“Papa sudah buatkan baso tahu kesukaanmu. Makan dulu tuan putri.” Senyum sang ayah tak digubrisnya. Anggitha melangkah lunglai menuruni tangga. Sang ayah hanya menghembus nafas panjang, menggelengkan kepala. Pandangnya tertuju pada Fubu yang ditaruh Anggitha di atas ranjang, ia lalu berjalan ke dalam kamar Anggitha. Foto tua seorang perempuan terpajang di atas meja belajar. Diangkatnya foto tersebut oleh sang ayah sementara dari kejauhan terdengar suara piring diangkat, sepertinya Anggitha sudah mau makan.
“Beth, anak kita sekarang sudah dewasa, andai kau bisa melihat dia tumbuh. Hari ini nampaknya dia sedang patah hati, aku tidak percaya waktu berlalu secepat itu. Seakan baru kemarin aku mengajarinya naik sepeda.” Kata sang ayah sambil memandangi foto perempuan tersebut. “Aku rindu kamu Beth.” Lanjutnya.
Hujan mulai reda, tanpa senja hari berganti malam. Anggitha kembali mengunci kamarnya, sementara sang ayah menonton pertandingan Liverpool yang disiarkan televisi di ruang tengah. Anggitha kembali memeluk Fubu, boneka kucing yang tak pernah lelah senyum, sambil tidur-tiduran. Pikirannya melayang ke masa ia berusia 5 tahun.
“Papa, Fubu tertinggal.” Kata Anggitha kecil pada ayahnya ketika mereka baru beberapa kilometer meninggalkan rumah naik mobil.
“Nanti sepulang dari undangan kan bertemu Fubu lagi.” Jawab sang ayah yang sedang mengemudi.
“Nggak mau, Anggit mau ambil Fubu. Papa, ambilkan Fubu papa.” Rengeknya.
“Tapi tuan putri..”
“Fubu papa, Fubuuuuu.” Anggitha mulai menangis.
“Iya, iya, kita kembali ya.” Sang ayah mengusap rambut Anggitha kecil yang tak jadi menangis.
“Kenapa sih sedikit-sedikit selalu Fubu?” Tanya sang ayah yang pandangannya masih lurus menghadap jalanan.
“Kan papa sendiri yang bilang, Fubu itu hadiah dari mama untuk Anggit sebelum mama pergi ke surga.”

Angan Anggitha berputar kesana-kemari, dari masa kecil pergi ke 3 hari yang lalu.
“Aku nggak bisa lagi bareng kamu Nggit.” Kata lelaki seusia Anggitha di depan sekolah mereka.
“Kenapa? Memang aku kurang apa? Aku bisa perbaiki kesalahanku untuk kamu.” Anggitha memohon.
“Bukan itu.”
“Lalu apa? Bilang kenapa.” Anggitha menggoyang-goyangkan tangan lelaki tersebut.
“Aku..”
“Aku apa? Bilang.”
“Aku sudah jadian dengan Rima.” Kata-kata lelaki itu membuat Anggitha terbelalak. Dilepaskan tangan lelaki tersebut.
“Rima sahabat aku?” Tanyanya seakan tak percaya. Lelaki itu hanya menunduk.
“Kalian jahat.” Anggitha mengepal tangan sekuat mungkin, berusaha tak menumpahkan tangis. Dia berjalan pergi.
“Anggitha, jangan seperti ini dong.” Lelaki itu iba, Anggitha tak menengok lagi.

Kembali ke malam ini, 3 hari kemudian, Anggitha memeluk Fubu, tidak percaya hubungan 1 tahun dengan pacarnya harus berakhir seperti itu. “Fubu, kenapa dia jahat sekali? Fubu, jawab aku. Fubu, hapuskan luka ini.” Air mata Anggitha membasahi bulu-bulu sintetis Fubu, hingga akhirnya Anggitha tertidur, pulas, entah berapa jam. Fajar pun tiba.

“Selamat pagi Nona Anggitha.” Suara itu membangunkan Anggitha. Matanya lamat-lamat terbuka, dicarinya arah suara tersebut. Dilihatnya seorang lelaki berambut belah pinggir warna hitam membias biru ketika matahari memancarinya. Bajunya berkerah tinggi berwarna putih, celananya pun berwarna sama. Anggitha yang terkejut spontan teriak.
“AAAAAHHHHH!!” Lelaki itu menggoyang-goyang tangannya seakan meminta Anggitha berhenti teriak.
“Siapa kamu? Maling ya? Aku tidak takut! Aku bisa teriak!” Kata Anggitha seraya menutup tubuhnya dengan selimut.
“Pap..” Baru saja Anggitha ingin teriak, lelaki bermata cokelat muda itu berkata.
“Ini aku, Fubu.” Anggitha tak jadi teriak, air mukanya berubah.
“Gila kamu! Darimana tahu soal Fubu? Kamu stalking aku ya? Sakit jiwa!”
“Paaaapppppp..”
“Sumpah, aku Fubu!” Lagi-lagi Anggitha tidak jadi berteriak. Dilihatnya ke sekeling, boneka kucing itu sudah tidak ada.
“Kamu kemanakan Fubu!?” Mengaku!” Anggitha semakin geram, tangannya dikepalkan seakan inin meninju.
“Biar aku jelaskan dulu.” Kata lelaki itu. “Semalam kau ingat apa permintaan terakhirmu sebelum kau tidur? Kau memintaku menghapuskan lukamu.” Anggitha mengerutkan keningnya, dari mana lelaki itu tahu permintaannya, pikir Anggitha. Dilihatnya lelaki itu dengan seksama, ini pasti kejahilan kawan-kawannya, duganya. Ada yang aneh dengan lelaki itu, telinganya berbentuk seperti telinga kucing.
“Semalam aku meminta pada Nirwana agar mengabulkan doamu. Aku merasa kesal, saat kau jatuh dari sepeda, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Saat kau dimusuhi sahabatmu, kau mengadu padaku, aku hanya bisa diam.” Anggitha mendengarkan penjelasan lelaki itu. Masih sulit dicerna untuknya bahwa orang yang berdiri di hadapannya adalah Fubu.
“Ibumu ikut memohon pada Nirwana semalam, ia juga meminta agar aku bisa menghapus lukamu. Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi sumpah, aku Fubu.” Anggitha menyipitkan matanya. Ia tidak mungkin percaya, ia tak sedang hidup di dunia dongeng.
“Jangan bawa-bawa ibuku!” Baru Anggitha ingin berteriak lagi, lelaki itu melanjutkan kalimatnya.
“Kau suka memelintir upilmu dan menaruhnya di bawah meja belajar, kau sering berdansa sendiri ketika senja tiba, kau senang bercermin sambil meniru gaya Katy Perry, dan kalau kau kentut, baunya astaga, seperti satu truk sampah.” Lelaki itu nyengir.
“Hey, bagian terakhir tidak perlu disebut. Aku tersinggung. Tapi, dari mana kamu tahu semua itu?”
“Satu lagi, kau sering berdoa meminta agar ayahmu bertemu lagi perempuan yang bisa membahagiakannya. Kau bersedih melihat ayahmu masih terkenang ibumu meski sudah 17 tahun berlalu.”
“Oke, ini aneh, aku perlu waktu untuk mencerna.” Kata Anggitha duduk di ranjangnya sembari memegangi kepala.
Tetiba pintu kamar diketuk dari luar. “Anggit, tadi papa dengar dari luar kamu berteriak. Kamu nggak apa-apa?” Tanya sang ayah.
Anggitha menaruh telunjuk di mulutnya, tanda agar lelaki itu tak bersuara. “Nggak apa-apa, Anggit tadi mimpi buruk.” Kata Anggitha agar ayahnya pergi.
“Oh, kalau begitu papa kembali tidur ya, papa begadang semalam.” Suara langkah menjauhi pintu.

Anggitha memandang benar-benar lelaki gagah bertelinga aneh yang menyilangkan tangannya di punggung dan berdiri di hadapannya. “Fubu?” Lelaki itu mengangguk sambil tersenyum.
“Silakan bersiap-siap dulu Nona Anggitha, aku mau mengajakmu ke suatu tempat.” Kata Fubu.
“Kemana?”
“Ke tempat aku bisa menghapuskan lukamu.” Balasnya.
Anggitha yang masih keheranan pun mandi. Tak lama, ia masuk dengan handuk kimononya. Fubu sedang berdiri memandang rumah-rumah yang terlihat dari jendela kamar Anggitha.
“Keluar dulu, aku mau ganti baju.”
“Biasanya juga aku melihat.”
“Keluar.” Anggitha menunjuk pintu.
“Baiklah.” Akhirnya Fubu menunggu di luar kamar. Beberapa belas menit kemudian Anggitha keluar.
“Aku sudah siap.”
“Ayo kalau begitu. Pegang tanganku.” Anggitha ragu-ragu memegang tangan Fubu.
“Pejamkan matamu.” Kata Fubu lagi. Anggitha memejamkan matanya. Mereka melesat jauh dari rumah hingga tiba di sebuah tempat.
“Sekarang buka matamu.” Anggitha membuka matanya, dilihatnya danau berwarna cokelat sementara ia berdiri di atas hamparan savana menghijau dengan pohon berbentuk permen kojak, banyak sekali.
“Dimana ini?” Anggitha melihat ke sekeliling, langit begitu biru, danau berwarna cokelat itu nampak kental, beberapa burung bermain di angkasa.
“Kau suka coklat kan? Selamat menikmati.” Fubu mendorong Anggitha ke arah danau hingga Anggitha tercebur.
Anggitha panik, lalu mulai berenang. “Hey. Ini rasa coklat.” Anggitha tak sengaja menelan air danau yang ternyata adalah coklat cair.
“Selamat menikmati danau coklat, Nona Anggitha. Coklat mengandung zat untuk menimbulkan endorfin. Dengan kata lain, kau akan merasakan tenang dan hangat seperti sedang jatuh cinta.” Fubu berdiri di pinggir danau.
“Ini enak sekali Fubu, aku belum pernah merasakan coklat seenak ini.” Anggitha berenang di danau coklat cair sambil terus meminumnya.
“Jangan terlalu banyak Nona, nanti kau kekenyangan.” Fubu tersenyum. Anggitha kembali ke daratan, dengan tubuh sudah dilumuri coklat cair. Dia tertawa, berteriak seperti anak kecil menemukan mainan baru. Tawanya lambat laun hilang, Anggitha kembali melamun.
“Masih merasa sedih ya?” Fubu duduk di sebelahnya.
“Sedikit.” Anggitha senyum kecut, menghembus nafas panjang. Dipandanginya langit di hadapan mereka.
Fubu menyerahkan tangannya. “Pegang tanganku lagi Nona, jangan lupa pejamkan matamu.” Anggitha memegang tangan Fubu, kembali terpejam, mereka melesat pergi dari sana.
“Buka matamu.” Anggitha membuka matanya, pakaiannya kembali bersih, kali ini mereka ada di depan restoran mewah ala Prancis. Hanya ada beberapa orang yang duduk di restoran itu, sepasang kekasih duduk di depan Anggitha dan Fubu. Wajah sang lelaki nampak familiar untuk Anggitha, sementara wajah sang perempuan tak terlihat karena membelakangi.
Anggitha menutup mulutnya dengan satu tangan, matanya terbelalak. Lelaki itu, ayahnya, tapi nampak tak ada kerutan di wajahnya, rambutnya pun lebih panjang. Perempuan itu, hanya dapat ditebak meski dari belakang, perutnya sedang besar.
“Itu papa?” Tanya Anggitha sambil menunjuk.
“Iya.” Fubu tersenyum, tangannya lagi-lagi disilangkan ke belakang.

“Sudah ada nama untuk anak kita?” Kata sang lelaki setelah selesai memesan makanan pada pelayan. Perempuan di hadapannya hanya menggeleng sambil tersenyum.
“Bagaimana kalau kita ambil dari nama tengahmu?” Lanjut lelaki itu.
“Anggitha?” Tanya sang perempuan. Lelaki itu tersenyum sambil mengangguk.
“Itu kan kalau perempuan. Kalau lelaki?” Tanya perempuan itu.
“Ummm..ah aku belum ada ide. Nanti juga terpikirkan.”
“Tapi, kau tahu kan apa kata dokter? Aku takut Mas.” Perempuan itu tetiba sendu. Lelaki itu menggenggam tangannya.
“Aku yakin semua akan baik-baik saja.” Lelaki itu meyakinkan.
“Janji ya Mas, kalau sampai terjadi apa-apa dan Mas harus memilih, selamatkan bayi kita.”
“Ssttt. Jangan bicara seperti itu.”
“Aku yakin, anak kita akan tumbuh menjadi orang yang kuat.” Perempuan itu mengusap-usap perut besarnya. “Menjadi orang yang mengagumkan, yang tidak mudah dikalahkan oleh hal-hal sepele. Dia akan mengubah dunia.” Perempuan itu berbinar. Lelaki itu berdiri, mengecup kening perempuannya yang terpejam sambil tersenyum.
“Aku sayang kamu, selamanya.”
“Aku sayang kamu, selamanya.”

Anggitha tak kuat menahan tangis. Dia ingin berlari menuju sepasang kekasih itu, namun ditarik oleh Fubu. “Kamu jahat Fubu. Mengapa kamu bawa aku kemari?” Anggitha jatuh di dada Fubu sambil memukul-mukulnya.
“Agar kau tahu Nona Anggitha, kalau dua orang yang paling sayang padamu di muka bumi ini yakin bahwa kau akan jadi seseorang yang mengagumkan. Lalu untuk apa kau mengasihani diri sendiri hanya karena seorang lelaki yang tidak tahu cara menghargaimu?” Fubu mengusap kepala Anggitha yang masih terus menangis. Dipegangnya tangan Anggitha, mereka melesat pergi lagi.

“Anggitha.” Suara seorang perempuan memanggilnya, bergaung. Anggitha perlahan melepaskan diri dari pelukan Fubu. Dia ada di hamparan awan putih bersih yang luas. Dia menengok ke belakang. Dilihat perempuan yang selama ini hanya bisa ia pandangi di foto, wajahnya begitu bercahaya, gaun putih membuat penampilannya begitu anggun.
“Mama!” Anggitha berlari dari pelukan Fubu ke pelukan sang bunda, kali ini Fubu sama sekali tidak menarik tangannya. Perempuan itu tersenyum, membelai kepala Anggitha dengan lembut, tangan seorang ibu.
“Kamu sudah besar ya.”
“Kenapa mama pergi ke surga? Anggit rindu mama. Anggit belum pernah bertemu mama, tapi Anggit rindu mama.” Anggitha semakin erat memeluk sang bunda.
“Surga terlalu sayang pada mama.” Sang bunda memegang lengan Anggitha, menjauhkan dari pelukan agar bisa melihat wajah anak gadisnya.
“Tapi ma..” Anggitha kembali memeluk sang bunda.
“Anggitha, kamu harus jadi perempuan yang kuat yang bisa mendukung seorang ayah. Kalau kamu lemah, siapa yang akan menyemangati papamu? Tidak ada salahnya sesekali menangis, toh kamu manusia, tapi jangan terlalu lama, waktu takkan menunggu. Lepaskan yang sudah hilang, hargai yang masih ada. Ingat itu sayang.” Sang bunda terus membelai rambut Anggitha. Anggitha hanya mengangguk, air matanya membasahi gaun putih sang bunda.
“Mama punya sesuatu untuk kamu.” Anggitha melepaskan peluk lalu menyeka air matanya. Sang bunda mengeluarkan sesuatu entah dari mana. Sebuah batu giok yang digantung di sebuah kalung berwarna merah. “Ini untuk kamu, setiap kali kamu sedih, pegang batu ini sambil ingat mama.” Sang bunda memakaikan kalung tersebut di leher Anggitha.
“Fubu.” Panggil sang bunda.
“Sahaya.” Balas Fubu sambil menunduk.
“Antar Anggitha.”
“Tapi Anggit masih ingin disini mama.” Kata Anggitha dengan wajah sendunya.
“Suatu saat kamu bisa tinggal disini, dengan mama dan juga papa. Tapi bukan hari ini sayang, hari ini kamu harus pulang. Sampaikan salamku untuk papamu, katakan aku sayang dia dan akan selalu mendukung apa pun yang dia lakukan.” Sang bunda tersenyum sambil menyentuh lembut pipi Anggitha. Anggitha memegang tangan yang menyentuh pipinya sambil mengangguk tersenyum.
“Mari Nona Anggitha.” Kata Fubu sembari memberi tangannya untuk Anggitha genggam.
“Sampai bertemu lagi mama.”
“Sampai bertemu lagi sayang.”
Anggitha terpejam, mereka kembali melesat.

“Buka matamu Nona Anggitha.” Kata Fubu. Ketika Anggitha membuka matanya, mereka sedang ada di tebing tinggi dengan laut membentang luas. Langit menguning, awan-awan berjejer bagaikan gula-gula kapas yang mengapung, mentari merangkak perlahan ke bawah, hampir menyentuh ujung cakrawala. Fubu duduk memandang horison.
“Senja, ah, aku cinta senja.” Anggitha memejamkan matanya, merasakan angin menerpa wajahnya. Dia buka lagi matanya, berjalan ke arah Fubu, lalu duduk di sebelahnya.
“Indah ya.” Fubu masih memandang lurus.
“Sangat indah.”
“Tapi di saat yang sama juga menyedihkan Non.” Fubu tertunduk. “Seindah apa pun senja, ia selalu membawa kita pada kegelapan.”
Anggitha tersenyum. “Namun bukankah gelapnya malam juga punya keindahannya tersendiri?” Ia memandang Fubu. “Dan hanya seseorang yang bersyukur yang bisa melihat jutaan bintang dalam kegelapan malam.” Lanjutnya. Kali ini Fubu yang tersenyum.
“Baguslah kalau kau sudah menyadari itu Nona Anggitha.” Dilihatnya Anggitha. Mata mereka beradu.
“Terima kasih untuk hari yang menyenangkan ini Fubu, terima kasih untuk selalu ada selama ini.” Anggitha memegang tangan lelaki bertelinga seperti telinga kucing itu. Fubu menggenggam tangan Anggitha. Entah sudah ke berapa kalinya dalam sehari ini mereka berpegangan tangan, namun kali ini lah jantung mereka saling berdebar.
“Semoga lukamu sudah terhapus.” Jawab Fubu. Anggitha tak menjawab, diciumnya bibir Fubu. Langit semakin kemerahan, begitu pula wajah mereka. Mentari semakin tenggelam, langit semakin gelap, bintang bermunculan, tangan mereka tak melepas, mata mereka terpejam.

Anggitha membuka matanya, dia ada di ranjang dengan boneka kucing kesayangannya yang sedang dia peluk. Langit masih gelap. Ternyata hanya mimpi, pikirnya, mimpi yang sangat indah. Dipeluknya boneka Fubu lebih erat lagi, terasa ada yang mengganjal di lehernya. Anggitha memegang leher, dirasakan oleh tangannya sebuah kalung, kalung bermata giok.


(Oleh: Fie.Bari. Moc.Asa 20 Desember 2013)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Karena Ikatan Membuat Aku Dan Kamu Menjadi Kita”

Bersama Allah Aku Tak Lagi Mengenal Kata Bersedih

Memahami Perempuan: Tak Segampang itu