Mazhab Cinta Rabiah Al-adawiyah
Cinta (Mahabbah) adalah salah satu jalan untuk
mengenal Allah. Sebagaimana dalam Al Qur'an disebutkan yang artinya, "Aku
(Allah) mencipta jin dan manusia tidak lain supaya mereka beribadah
kepada-Ku" (QS Al-Zariyat [51] : 56). Didalam ayat ini, tersirat
pengertian bahwa dalam jalan cinta terdapat pengabdian kepada Yang Dicintai.
Selain itu, para sufi juga menghubungkan pencapaian di jalan cinta dan
perolehan pengetahuan yang mendalam tentang Yang Hakiki. Ibnu Abbas misalnya, menafsirkan
perkataan "supaya beribadah kepada-Ku" dalam ayat tersebut sebagai
"upaya mencapai pengetahuan-Ku (melalui jalan cinta)".
Cinta atau al-hub dalam pandangan Rabiah Al Adawiyah
merupakan cetusan dari perasaan rindu dan pasrah kepada-Nya. Perasaan tersebut
menghujam dalam di hatinya, membuatnya mengorbankan seluruh hidupnya untuk
mencintai Allah. Sampai akhir hayatnya Rabiah tidak menikah karena begitu
mendalam perasaan cintanya kepada Allah. Hatinya seperti sebuah ruangan yang
penuh dengan perasaan cinta kepada Allah tanpa menyisakan perasaan cinta atau
kebencian kepada makhluk-Nya.
Rabiah Al-Adawiyah atau sering dikenal juga dengan
nama Rabi'ah Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan
dan kecintaannya terhadap Allah.Rabi'ah merupakan klien (bahasa Arab: Mawlat)
dari klan Al-Atik suku Qays bin 'Adi, dimana ia terkenal dengan sebutan
al-Qaysyah.Ia dikenal sebagai seorang sufi wanita yang zuhud, yaitu tidak
tertarik kepada kehidupan duniawi, sehingga ia mengabdikan hidupnya hanya untuk
beribadah kepada Allah.Rabiah diperkirakan lahir antara tahun 713 - 717 Masehi,
atau 95 - 99 Hijriah, di kota Basrah, Irakdan meninggal sekitar tahun 801
Masehi / 185 Hijriah.Nama lengkapnya adalah Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah
al-Basriyah.Rabiah merupakan sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti
Umayyah yang menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang
mengabdikan dirinya untuk penelitian hukum kesucian yang sangat takut dan taat
kepada Tuhan.Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai "The Mother of the Grand
Master" atau Ibu Para Sufi Besar karena kezuhudannya.Ia juga menjadi
panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dhun Nun al-Misri. Kezuhudan
Rabi'ah juga dikenal hingga ke Eropa. Hal ini membuat banyak cendikiawan Eropa
meneliti pemikiran Rabi'ah dan menulis riwayat hidupnya, seperti Margareth
Smith, Masignon, dan Nicholoson.
Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak, sekitar
abad ke delapan tahun 713-717 Masehi. Ia dilahirkan dari keluarga yang sangat
miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan
Rabiah yang berarti anak keempat. Ayahnya bernama Ismail, ketika malam
menjelang kelahiran Rabi'ah, keadaan ekonomi keluarga Ismail sangatlah buruk
sehingga ia tidak memiliki uang dan penerangan untuk menemani istrinya yang
akan melahirkan. Beberapa hari setelah kelahiran Rabi'ah, Ismail bermimpi
bertemu dengan nabi Muhammad, dalam mimpinya dia berkata pada Ismail agar
jangan bersedih karena anaknya, Rabi'ah, akan menjadi seorang wanita yang
mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan syafaatnya.
Rabi'ah hanya tidur sedikit disiang hari dan
menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat sehingga ia dikenal sebagai
pujangga dengan syair-syair cintanya yang indah kepada Allah. Rabi'ah telah terkenal
karena kecerdasan dan ketaatannya ke pelosok negeri sehingga ia menerima banyak
lamaran untuk menikah. Di antara mereka yang melamarnya adalah Abdul Wahid bin
Zaid, seorang teolog dan ulama, Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir
dari dinasti Abbasiyah yang sangat kaya, juga seorang Gubernur yang meminta
rakyat Basrah untuk mencarikannya seorang istri dan penduduk Basrah bersepakat
bahwa Rabi'ah adalah orang yang tepat untuk gubernur tersebut. Riwayat lain
juga menyebutkan bahwa Hasan al-Bashri, seorang sufi besar dan sahabat Rabi'ah,
juga meminangnya, namun hal itu masih diragukan kebenarannya mengingat Hasan
al-Bashri meninggal 70 tahun sebelum kematian Rabi'ah. Rabi'ah menolak seluruh
lamaran itu dan memilih untuk tidak menikah. Meskipun tidak menikah, Rabi'ah
sadar bahwa pernikahan termasuk sunah agama, sebab, tidak ada kependetaan
(bahasa Arab: Rahbaniyah) dalam syariat islam. Rabi'ah memilih untuk tidak
menikah karena ia takut tidak bisa bertindak adil terhadap suami dan
anak-anaknya kelak karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan kepada Allah.
Tidak ada satupun di dunia ini yang dicintai Rabi'ah kecuali Allah. Sehingga
atas dasar itulah, Rabi'ah memuntuskan untuk tidak menikah hingga akhir
hidupnya.
Mazhab cinta Rabiah Al Adawiyah adalah cinta kepada
Allah (Mahabatu Allah). Ia mengembangkan ajaran zuhud yang bersifat khauf (
rasa takut) dan raja' (rasa harap) yang dicetuskan oleh Hasan Al basri kepada
zuhud yang bersifat hubb (cinta). Menurut Rabiah beribadah kepada Allah karena
cinta lebih tinggi derajatnya dibanding beribadah karena mengharap surga dan
takut kepada neraka. Melalui mazhab cintanya tersebut ia disebut-sebut sebagai
peletak dasar Mazhab cinta jauh sebelum Jalaludin Rumi. Bahkan gagasan-gagasan
cinta Jalaludin rumi sebenarnya terinspirasi dari mazhab cinta Rabiah al
adawiyah.
Rabiah berkata dalam munajatnya :
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut
neraka-Mu
Bakarlah aku dengan api jahannam
Dan jika aku menyembah-Mu karena menginginkan
surga-Mu
Palingkanlah aku darinya
Namun, jika aku menyembah-Mu karena demi cinta-Mu
Jangan Kau halangi aku untuk melihat wajah-Mu yang
mulia.
Bagi Rabiah, soal surga dan neraka adalah nomor dua
bahkan bukan soal sama sekali. Ibadahnya adalah sarana untuk mencintai Allah
dan mengharap ridho Allah. Ini sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur'an yang
artinya, Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. ( QS Al-An'am [6] : 162 ). Imam
Fakhrudin Ar-Razi berkata bahwa ayat tersebut menuntut bahkan mewajibkan kita
untuk beribadah dengan penuh keikhlasan. Rabiah Al Adawiyah telah menjalaninya,
menekuni laku cinta dalam peribadatan kepada Allah.
Mazhab Cinta Rabiah Al Adawiyah Ditengah Wabah
- Muhasabah diri
Musibah wabah covid-19 yang saat ini menimpa negri
kita bahkan dunia adalah ujian yang Allah berikan kepada umat manusia. Allah
berfirman yang artinya, "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." ( QS : Al Baqarah
[2] : 155 ).
Rabiah Al
Adawiyah berkata dalam kitab
At-Thabaqatul Kubra: Lawaqihul Anwar fi Thabaqatil Akhyar, karya Syaikh Abdul Wahab As-Sya’rani,
“Kalimat istighfar atau permohonan ampun kita, perlu
juga dimintakan ampun kembali.”
Menurut riwayat dari Imam Sya’rani dalam kitab yang
sama, pada suatu masa adalah seorang yang menyebut-nyebut azab siksa neraka
dihadapan Rabi’ah, maka pingsanlah beliau lantaran mendengar hal itu, pingsan
didalam menyabut-nyebut istighfar memohon ampunan Tuhan. Tiba-tiba setelah
beliau siuman dari pingsannya dan sadar akan dirinya, beliaupun berkata “saya
mesti meminta ampun lagi dari pada cara meminta ampun saya yang pertama."
Dua riwayat Imam Sya'roni diatas tentang perkataan
Rabiah Al adawiyah juga dinukil oleh Buya Hamka dalam bukunya, Perkembangan
Tasauf Dari Abad ke Abad.
Dari Rabiah kita belajar untuk bermuhasabah
beristighfar dan memohon ampun kepada Allah tidak hanya atas keburukan yang kita
lakukan tetapi juga atas kebaikan atau ibadah kita yang kita lakukan selama ini
mungkin belum sempurna atau belum membuat Allah ridho.
- Zuhud ditengah wabah
Wabah yang melanda negri kita Indonesia telah
memberikan dampak negatif bagi masyarakat Indonesia. Banyak buruh pabrik
terkena PHK, banyak pula orang kehilangan pekerjaannya, sepinya pengunjung
untuk membeli barang dagangan, yang tidak kalah menyedihkan ketika terdapat
banyak orang yang kelaparan karena tidak makan.
Keadaan seperti ini sebenarnya sangat membantu kita
untuk bersikap Zuhud dari dunia, Zuhud dimaknai sebagai keadaan dimana hati
berpaling dari kecintaan terhadap dunia. Apalagi di bulan suci Ramadhan saat
kita menjalani ibadah puasa, kita dididik untuk ikut merasakan bagaimana
rasanya kelaparan dan kelemahan. Kita Zuhud dari dunia bukan untuk menjadi
orang yang lemah atau miskin, tetapi supaya rasa cinta terhadap dunia sedikit
demi sedikit terkikis.
- Ridho
Keadaan yang hari ini kita hadapi tidak boleh kita
sikapi dengan kekecewaan dan amarah kepada Allah. Betapapun sulitnya, kita
tetap harus selalu membangun prasangka yang baik kepada Allah. Sebagaimana
dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Allah berfirman
bahwa Allah mengharamkan atas diri-Nya berlaku zalim.
- Ikhlas dan Cinta
Penulis ingin memberi definisi sederhana mengenai
ikhlas, ikhlas adalah kesetiaan dan ketulusan dalam beramal. Seseorang yang
ikhlas dalam beramal atau beribadah berarti Ia hanya punya niatan dalam amal
dan ibadahnya untuk Allah semata. Senada dengan cinta, cinta juga memiliki
konsekuensi berupa kesetiaan dan ketulusan hanya kepada yang dicintai.
Kita telah membaca mengenai sabar, istighfar, zuhud
dan ridho dalam menghadapi wabah covid-19 yang melanda negri kita. Hal-hal yang
telah disebutkan tadi sebenarnya bukan bermaksud membuat kita hanya berdiam
diri dan menerima. Sebagai seorang hamba kita diberi satu wilayah yang disebut
ikhtiar. Saya kira sudah banyak ikhtiar-ikhtiar yang kita semua lakukan dalam
menghadapi wabah ini. Tenaga-tenaga medis telah banyak berjasa dalam mengobati
dan merawat para pasien, relawan-relawan kemanusiaan juga telah banyak
berpartisipasi mengumpulkan bantuan dana, baik untuk pengadaan APD bagi tenaga
medis atau bantuan bahan pokok makanan supaya didistribusikan kepada
masyarakat.
Saya berharap kita semua bisa berikhtiar, sebagai
bentuk pengabdian kita kepada Allah dengan meneladani sosok Rabiah Al Adawiyah.
Artinya kita mengupayakan hati untuk ikhlas kepada Allah dalam ikhtiar-ikhtiar
kita. Sebagaimana Rabiah berkata , "Sembunyikanlah kebaikan-mu sebagaimana
dirimu menyembunyikan keburukan-mu." (Wafayatu Al A'yan)
Ditulis Oleh: Mamay Nurbayani
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Komentar
Posting Komentar