SETAN YANG BERGENTAYANGAN DALAM IMAJI RAKYAT

Oleh: Muhammad Azril Anfarizi

     Soekarno telah mengangkangi sejarah, Soeharto telah mengencingi demokrasi, Prabowo mengulangi dosa yang sama namun lebih bengis. Pengkhianatan terhadap rakyat bukan sekadar ulangan sejarah, tetapi siklus busuk yang terus diwariskan oleh rezim yang menganggap negeri ini sebagai warisan nenek moyang mereka. Setiap pergantian pemimpin hanya seperti roda yang berputar di atas jalan berlubang—terus berjalan tanpa peduli apakah ban itu bocor, aus, atau sebentar lagi akan pecah. Dan tidak ada yang salah dengan protes! Justru kesalahan itu ada pada mereka yang menindas protes dengan pentungan, gas air mata, dan pasal-pasal karet yang membungkam suara rakyat. Dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 3, jelas disebutkan:

"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

     Namun, apakah kenyataannya demikian? Tidak! Yang kita lihat adalah mahasiswa diseret, aktivis dihilangkan, buruh dipukul mundur, jurnalis dibunuh, public figure yang kritis diancam, tim medis diintimidasi dan rakyat miskin dipaksa tunduk pada kehendak oligarki. Hukum bukan lagi alat keadilan, melainkan alat legitimasi bagi mereka yang duduk di atas api kemungkaran. Demokrasi yang katanya diperjuangkan dengan darah dan nyawa, kini tak lebih dari sandiwara murahan yang dimainkan oleh elite untuk memperkaya diri mereka sendiri. 

    Jangan lagi teriak merdeka kalau hanya untuk berlaga seperti jenderal yang sedang bergerilya. Karena kemerdekaan itu—sebagaimana dikatakan oleh Widji Thukul, seorang revolusioner yang telah membunuh jati diri rezim dengan kata-katanya, "Kemerdekaan itu adalah nasi, yang dimakan menjadi tai."

      Maka, jangan pernah berharap kebebasan dan keadilan datang dari tangan penguasa yang tangannya sendiri berlumur darah rakyat. Jangan pernah percaya demokrasi yang hanya hidup dalam pidato dan mati dalam tindakan. Jika kita ingin perubahan, kita harus menciptakannya sendiri, dengan keringat sendiri. Kita bukan pion yang disetir tuntas di papan catur, kita adalah gelombang yang bisa mengaramkan mereka. Sebab sejarah hanya mencatat dua jenis manusia: mereka yang berjuang dan mereka yang berkhianat. Pilihannya ada di tangan kita—melawan atau dilenyapkan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDIDIKAN KARAKTER PERSPEKTIF K.H. AHMAD DAHLAN

PERAN MAHASISWA DI ERA 4.0

Memahami Perempuan: Tak Segampang itu