Nasionalisme dan Peran Kemerdekaan dalam Perspektif Lokal | Oleh: Iskandar Balad
Pendahuluan
Nasionalisme dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, berasal dari kata “Nasional” dan “isme”, yang merupakan paham
(ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri.[1] Sedangkan
Ir. Soekarno mengatakan nasionalisme adalah sebuah pilar kekuatan bangsa
terjajah untuk memperoleh kemerdekaannya.[2]
Sedangkan kata perspektif berasal dari kosa kata bahasa Inggris “perspective” yang berarti track atau thariqoh yang sebenarnya, tetap melihat ke depan, atau pemandangan.[3]
Dari pengertian tersebut dapat kita kembangkan bahwasanya perspektif dapat kita
asumsikan sebagai bentuk sudut pandang dari suatu subjek. Dalam kajian ini
penulis mengajak untuk melihat nasionalisme dalam rangka menjalin kemerdekaan
melalui perspektif lokal.
Adapun yang dimaksud dengan
perspektif lokal ialah cara pandang ataupun sudut pandang mengenai sesuatu yang
dalam kajian ini ialah tentang nasionalisme dan peran kemerdekaan oleh suatu
komunitas ataupun masyarakat pada daerah tertentu. Komunitas atau masyarakat
lokal di sini ditujukan kepada masyarakat betawi yang berada di daerah Pondok
Aren, Tangerang Selatan.
Pondok Aren ialah suatu daerah yang
berstatus kecamatan dalam kota administrasi Tangerang Selatan, Banten, yang memiliki luas
daerah 28.83 km2. Sebelum Kota Tangerang Selatan menjadi kota
otonom, Pondok Aren merupakan salah satu kecamatan terluas di Kabupaten
Tangerang dengan
luas terbesar yaitu 2.988 km2. Kecamatan Pondok Aren merupakan pecahan
dari Kecamatan Ciledug sebagai kecamatan induknya, dan masih merupakan Provinsi Jawa Barat.
Menurut sejarahnya, mengapa diberi nama
Pondok Aren? Karena pada zaman dahulu merupakan kampung besar yang terletak di
Kelurahan Parigi Lama sebelah timur, Kelurahan Pondok Kacang Timur sebelah
timur dan Kelurahan Pondok Aren tersebut. Kata “Aren” berasal dari nama sebuah pohon yaitu poohon
aren (Arenga pinnata) yang merukan
sejenis palem-paleman yang banyak tumbuh di sekitar daerah tersebut.
Nasionalisme dalam
Konteks Lampau
Bila kita berbicara nasionalisme
masa lampau, sangat erat kaitannya dan tidak dapat kita pisahkan dengan
kejadian-kejadian sejarah dalam rangka merebut kemerdekaan. Banyak hal penting
yang terekam dan tertulis dalam banyak buku-buku sejarah maupun arsip-arsip
yang menceritakan pertumpahan darah, perjuangan rakyat, penindasan para
penjajah terhadap hak dan martabat rakyat dan baku tembak dengan suasana
mencekam.
Penulis hanya menggambarkan secara umum tentang
nasionalisme lampau sebagaimana yang telah tertera pada paragraf di atas.
Namun, penulis berpendapat dari pelbagai sumber sejarah dan cerita-cerita para
orang-orang terdahulu selain yang telah disebutkan pada paragraf di atas, nasionalisme lampau juga
banyak menceritakan situasi dan kondisi paska-kemerdekaan yang menggambarkan
morat-marit kehidupan rakyat.
Nasionalisme dalam
Konteks Kekinian
Sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa nasionalisme ialah sebuah rasa cinta akan bangsa dan tanah air
maka dalam konteks waktu masa kini penulis berpendapat bahwa kita seharusnya
tidak lagi berbicara nasionalisme pada seputar perang senjata maupun perang
melawan penjajah. Dewasa ini seharusnya kita intens melakukan sesuatu yang
berguna lagi bermanfaat untuk bangsa dan Negara guna mengisi dan menjalankan
kemedekaan ini untuk melanjutkan dan menghargai perjuangan para pendahulu dan
para pahlawan yang telah mengorbankan
seluruh jiwa dan raganya untuk merebut kemerdekaan sehingga bisa sampai pada
Indonesia saat ini dan yang pasti juga dengan diiringi limpahan rahmat dari
Sang Illahi.
Perkembangan rasa nasionalisme saat
ini lebih ditujukan kepada hal-hal yang bersifat kemajuan dan kemandirian
bangsa dalam rangka meningkatkan kualitas dan harga diri bangsa di mata dunia
dan bangsa-bangsa lain. Adapun bentuk aplikasi dari rasa nasionalisme saat ini
di antaranya ialah mempertahankan nilai-nilai ideologi kebangsaan yang kita
miliki sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para pendahulu kita. Selain itu, nasionalisme juga
menjadi pupuk semangat segenap rakyat dan warga Negara untuk ambil andil di
setiap aspek kehidupan karena saat ini kualitas hidup masyarakat juga
menunjukkan kualitas suatu Negara maupun bangsa.
Dewasa ini bukan lagi mengangkat
senjata juga bukan lagi mengatur taktik strategi perang, melainkan mengatur
siasat perkembangan dan kemajuan bangsa. Nasionalisme mesti dan harus tertuang
dalam setiap langkah dan perputaran roda kehidupan setiap lapisan masyarakat
sebagaimana contoh seorang atlet olahraga yang
berambisi meraih juara terbaik untuk mengharumkan nama
bangsa di kancah dunia, seorang pebisnis patut memanfaatkan setiap peluang dan
sumberdaya yang kita miliki untuk kesejahteraan bangsa dan Negara itu lah
sekilas gambaran nasionaisme dalam konteks kekinian.
Perspektif Lokal Pondok
Aren
Masyarakat Betawi Pondok
Aren dalam menyikapi persoalan nasionalisme tidaklah memiliki banyak perbedaan
dari khalayak pada umumnya. Dewasa ini mempersepsikan nasionalisme juga sebagai
tonggak semangat mengisi kemerdekaan guna mempertahankan hidup sehari-hari. Sebagaimana
observasi yang penulis lakukan terhadap pola kehidupan mereka[4]
ialah nasionalisme itu mengalami pengerucutan makna pada sebagian dari mereka.
Dari hasil observasi yang penulis lakukan ditambah pengalaman sehari-hari yang
penulis alami di dalam tatanan dan system keseharian masyarakat Betawi Pondok
Aren menggambarkan sesuatu yang unik. Apabila kita melihat kembali ke
pengertian nasionalisme di atas, keunikan yang dimiliki oleh sebahagian
masyarakat Betawi Pondok Aren ialah sebuah rasa bangga dan cinta terhadap
kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari yang dimana dewasa ini
bahkan telah menjadi sebuah budaya di kalangan mereka. Adapun sebuah keunikan
tersebut dinamakan oleh masyarakat umum setempat[5]
sebagai “Lele Sumur”.
Sebagaimana penulis juga berasal dari daerah Pondok
Aren, maka secara tidak langsung penulis paham terhadap keseharian Betawi
Pondok Aren. Penulis menyimpulkan
bahwa Lele Sumur ialah istilah dari penganalogian
keadaan suatu masyarakat yang di mana dalam masyarakat tersebut terdapat pola
dan tingkah laku yang unik, diantaranya ialah masyarakat tersebut memiliki
keberanian dan potensi-potensi bertindak dalam segala hal namun hanya
terealisasi dalam ruang lingkup daerah sendiri.
Bila kita cermati lebih dalam lagi
dari istilah lele sumur di atas, maka timbulah persepsi bahwa masyarakat Betawi
Pondok Aren merupakan masyarakat yang memiliki tingkat ke-arogansian yang cukup
tinggi dan tanpa berpikir matang-matang dalam melakukan hal-hal yang
dikehendakinya. Tetapi apakah benar terjadi adanya seperti itu? Bila kita tarik
arti lain Lele Sumur adalah
sebuah jagoan kandang ataupun jagoan wilayah yang memiliki pola dan cara
beripikir sempit,
tetapi banyak dari kalangan setempat tidak sepakat terhadap istilah penganalogian
tersebut.
Menurut beberapa tokoh setempat,
sejatinya masyarakat Betawi Pondok Aren ialah masyarakat yang baik lagi
memiliki rasa keberterimaan yang tinggi antara satu dengan yang lain termasuk
kepada para pendatang sebagaimana yang dikatakan oleh tokoh muda setempat
Ustad. Imam Sihabudin yang merupakan putra dari tokoh sekaligus guru dan ulama
KH. Muhammad Tafsir. Bila dilihat dari keadaan situasi dan kondisi saat ini,
apa yang dikatakan oleh Ustad. Imam memang benar adanya karena dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Betawi Pondok Aren hidup berdampingan dengan para
pendatang dari pelbagai penjuru tanah air.
Bahkan jauh sebelumnya masyarakat
Betawi Pondok Aren telah hidup rukun bersama dengan para pendatang semenjak
masa-masa pendudukan penjajahan colonial Belanda serta pendudukan penjajah
Jepang. Menurut tokoh orang tua setempat Hj. Kubil masyarakat Betawi Pondok
Aren menjalani bagaimana susah payahnya dalam kondisi penjajahan kala itu tak
terlepas pula dengan saling bantu-membantu dengan para pendatang baik itu dari
daerah sunda maupun daerah jawa dan hal ini pun yang masih tetap terjalin
hingga saat ini.
Namun dalam konteks kekinian, dengan bertambah
banyaknya pendatang dari pelbagai penjuru tanah air, tak dapat dipungkiri banyak
pula terjadi gesekan antar kebudayaan yang dibawa oleh para pendatang dengan
budaya lokal setempat dalam hal ini ialah budaya dan sistem tatanan masyarakat
Betawi yang ada. Menurut tokoh tetua kampung setempat membenarkan bila jelas
terjadi adanya perubahan budaya yang diakibatkan oleh masuknya para pendatang.
Maka dari itu terbentuklah sebuah proses akulturasi[6]
ataupun pertemuan dua kebudayaan yang
berbeda. Berawal dari hal ini maka timbulah tantangan-tantangan yang
harus dihadapi oleh masyarakat Betawi Pondok Aren dalam rangka mempertahankan
nilai-nilai budaya serta kehidupannya seiring dengan hadirnya para pendatang.
Masyarakat Betawi Pondok Aren memiliki cara sendiri
dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi saat ini di dalam rangka
menjalankan roda kemerdekaan dan mempertahankan nilai-nilai budaya yang mereka
miliki. Seperti yang dikatakan oleh Ustad. Imam Sihabudin dalam wawancara yang
dilakukan dengan penulis, beliau menjelaskan bahwa masyarakat Betawi Pondok
Aren sampai saat ini mampu bertahan dari pengaruh-pengaruh budaya yang dibawa
oleh para pendatang dengan cara memilah-milah dan memberi penilaian terhadap
budaya yang dibawa oleh para pendatang namun tidak serta menolak langsung
budaya-budaya tersebut. Adapun secara garis besar yang dikatakan beliau adalah
jangan langsung mengecap buruk ataupun tidak benar kebiasaan para pendatang.
Hal yang tidak bertentangan dengan budaya Betawi dan bisa pula diterima oleh
masyarakat Betawi dapat berjalan berdampingan di kehidupan sehari-hari antara
penduduk asli dengan para pendatang. Beliau menambahkan karena pada dasarnya
maasyarakat Betawi sangat tinggi rasa keberterimaannya terhadap para pendatang.
Namun apabila memang kebiasaan ataupun budaya yang dibawa oleh para pendatang
tidak sesuai dan sangat bertolak belakang dengan budaya Betawi maka perlu ada
dan perlu dilakukan tindakan pencegahan yang diawali dengan memanggil para
pendatang tersebut dan segala pelbagai masalah yang ditimbulkan olehnya
diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan.
Dengan adanya rasa keberterimaan yang tinggi terhadap
para pendatang dan kedewasaan dalam rangka menyikapi perubahan-perubahan
tersebut menandakan bahwasanya masyarakat Betawi Pondok Aren tidaklah seperti
asumsi yang berkembang saat ini dengan istilah lele sumur yang menjadi penyakit
bagi para pendatang. Penulis mengutip kata-kata dari Ustad. Imam Sihabudin
yaitu ”kita orang Betawi jangan sampe
jadi itu macam lele sumur, yang punya patil tajem kumis panjang tapi
ngubek-ngubek di situ-situ aja. Tapi kita mesti jadi kaya ikan mas yang enak
dagingnya mahal harganya maennya di tempat yang bagus”. Dari kutipan
tersebut terdapat pesan-pesan moral yang sangat bijaksana dan dapat dijadikan
bahan renungan bagi masyarakat Betawi pada
umumnya dan bagi masyarakat Betawi Pondok Aren khususnya bahwa orang Betawi itu
bukan orang yang arogan di wilayah sendiri tetapi tidak memiliki wibawa di mata
orang lain, orang Betawi bukan orang yang hanya bisa menghabiskan warisan
tetapi orang Betawi adalah orang yang mampu berpikir ke depan.
Oleh karena itu dapat disaksikan secara gamblang fakta
dan kondisi kekinian masyarakat Betawi khususnya masyarakat Betawi Pondok Aren
mampu hidup dan eksis berdampingan dengan masyarakat pendatang dan membentuk
suatu keberagaman yang unik dalam rangka menjalankan peran sebagai warga Negara
dalam mengisi kemerdekaan.
Nasionalisme dan Peran
Kemerdekaan dalam Persepektif Lokal
Masyarakat Betawi Pondok Aren pada dasarnya dari masa
penjajahan hingga saat ini ialah menjalani aktifitas sebagai petani. Menyambung
hidup dari hasil bercocok tanam di lahan garapan sendiri karena kala itu dengan
situasi dan kondisi yang sulit. Setelah masa merebut kemerdekaan dari para
penjajah usai, dewasa ini dihadapkan dalam situasi yang tak kalah sulit juga
dari sebelumnya yang di mana berkaitan dengan belum stabilnya kondisi Indonesia
paska proklamasi. Setelah perang kemerdekaan usai, Indonesia dihadapkan dengan
pergerakan yang mengatasnamakan pergerakan rakyat yaitu sebuah gerakan
pemberontakan oleh sekelompok masyarakat yang bermaksud untuk mengambil alih
kekuasaan Negara Republik Indonesia dari tampuk kepemimpinan yang ada ataupun
yang disebut sebagai G30SPKI. Namun penulis tidak akan mengulas peristiwa
pemberontakan tersebut karena itu bukanlah pokok pembahasan dan tujuan
penulisan karya tulis ini.
Pada masa itu menurut yang diceritakan oleh Hj. Kubil, huru-hara juga terjadi
hingga ke wilayah Pondok Aren. Pada masa itu masyarakat merasakan situasi yang
sangat sulit dikarenakan apabila ada sesorang yang salah berbicara ataupun bertindak
maka banyak yang menjadi korban pembunuhan. Masyarakat pun tak ayal menjadi
korban perampasan hewan-hewan ternak yang dimilikinya. Kala itu mereka yang
terlibat huru-hara dengan pemerintah berkuasa saat itu disebut ”Gerombolan” ujar sesepuh kampung yang
tengah mengisi hari-hari tuanya bersama keluarga. Saat itu banyak masyarakat
yang apabila memiliki hewan ternak dan terlihat oleh para gerombolan tersebut
dan diminta olehnya, maka tidak hanya hewannya yang dirampas melainkan sang
pemilik hewan ternak itu juga ikut dieksekusi oleh para gerombolan tersebut.
Tidak hanya tentang persoalan perampasan semata, apabila masyarakat tahu
tentang keberadaan gerombolan tersebut dan ditanya oleh aparat yang saat itu
masyarakat menyebutnya
dengan istilah ”pulisi” dan
memberitahukan di mana mereka bersembunyi, tak jarang pula masyarakat menjadi
korban pembunuhan. Hj. Kubil atau yang akrab dipanggil dengan “Emak Haji”[7]
menambahkan dari kejadian-kejadian tersebut apabila datang
gerombolan-gerombolan maupun polisi,
mereka memilih bersembunyi ataupun tutup mulut tentang informasi keberadaan
masing-masing. Bahkan apabila sampai terjadi pecah huru-hara antara gerombolan
dengan para aparat, mereka berlindung di bawah bale[8]
karena takut menjadi sasaran huru-hara tersebut. Menurut Hj. Kubil setelah
masa-masa sulit itu berlalu, dewasa ini dapat menjalankan kehidupan dengan aman
tanpa ada perasaan cemas akan keselamatan. Masyarakat Betawi Pondok Aren dengan
para pendatang kala itu mulai membangun kembali kehidupan yang baru
bersama-sama guna mewujudkan tatanan hidup yang dapat dirasakan oleh generasi
saat ini.
Berbeda generasi sudah pasti pula berbeda cara dan
pola berpikir masyarakat dalam menyikapi sesuatu tak terkecuali terhadap rasa
nasionalisme dan peran dalam mengisi kemerdekaan. Menurut keterangan dari Hj.
Kubil pada masa itu masyarakat Betawi Pondok Aren banyak yang memilih putus
sekolah untuk bekerja sebagai petani.
Penulis berpendapat setiap perkembangan zaman juga
pasti selalu diirngi oleh perkembangan pola berpikir serta kualitas masyarakat
di dalamnnya. Dalam perkembangannya masyarakat Betawi Pondok Aren saat ini
tidak hanya mengisi kemerdekaan dengan bertani, namun telah lahir putra-putra
betawi yang memiliki wawasan serta kesadaran akan pentingnya peningkatan kualitas
kehidupan.
Berawal dari persepsi untuk selalu bekerja keras serta
melakukan hal yang bermanfaat serta rukun dalam bermasyarakat dengan pendatang
dalam mengisi kemerdekaan, sebagaimana yang diutarakan oleh Hj. Kubil dewasa
ini telah banyak mengalami kemajuan dan perkembangan di setiap generasi yang
baru dari masyarakat Betawi Pondok Aren.
Menurut KH. Muhammad Tafsir sebagai tokoh ulama dan
guru masyarakat Betawi Pondok Aren yang lahir paska kemerdekaan, kemerdekaan
ialah sebuah tonggak kebebasan untuk meningkatkan kualitas bangsa baik dari
segi dan sudut pandang agama, akhlak, aqidah, maupun pendidikan serta derajat
kehidupan di dalamnya. Pelbagai cara dapat dilakukan untuk mewujudkan arti dari
kemerdekaan tersebut. Beliau menjelaskan dalam wawancara bersama penulis bahwa
semua itu dapat terwujud dengan tetap menjaga nilai-nilai agama di setiap diri
masyarakat. Setiap perkembangan juga pasti ada perubahan, maka dari itu sebagai
upaya mengantisipasi setiap perubahan yang ada, perlu ditanamkan nilai-nilai
keimanan serta wawasan dan pengetahuan yang cukup karena setiap perubahan yang datang
tidak hanya membawa pengaruh yang positif tetapi juga diiringi dengan pengaruh
negatif. Berangkat dari asumsi tersebut KH. Muhammad Tafsir senantiasa mengajak
terhadap masyarakat Betawi Pondok Aren untuk selalu bersyukur dalam
menjalani kemerdekaan, melakukan hal-hal yang positif, serta mengisinya dengan
mengembangkan kependidikan di kalangan masyarakat.
Dalam
pelaksanaannya sudah pasti banyak tantangan dan ujian, sejak tahun
1960-1970 secara umum kemerdekaan diisi
dengan hal-hal yang bersifat membangun semangat nasionalisme ujar KH. Muhammad
Tafsir. Begitu pula tanpa terkecuali saat-saat peringatan proklamasi,
masyarakat berkumpul bersama mengadakan syukuran serta perlombaan-perlombaan
khas 17 Agustusan yang terbukti dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air. Namun
dalam konteks kekinian beliau juga menandaskan pelbagai ujian dan tantangannya
yang dihadapi oleh masyarakat Betawi Pondok Aren saat ini yaitu berupa
kemunduran moral akibat arus globalisasi seiring perkembangan zaman. Oleh
karena itu, perlu adanya benteng kokoh guna mencegah masyarakat yang terlena akan pengaruh
arus perkembangan zaman khususnya kepada masyarakat muda Betawi Pondok Aren.
Menyikapi nasionalisme dan peran kemerdekaan tak bisa
kita kesampingkan peran para pemuda. Sejak perjuangan untuk merebut kemerdekaan
para pemuda menjadi aktor utama tonggak perjuangan dan semangat dalam meraih
kemerdekaan. Begitu besarnya pengaruh pemuda dalam setiap perjuangan bangsa,
sampai Bung Karno memberikan sebuah kata-kata penuh arti dan makna serta kaya
akan pesan optimisme dan semangat yang tinggi “beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya.
Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia”, berangkat dari kata-kata
sang proklamator
menandakan bahwa masa depan bangsa ada di tangan para pemuda penerus bangsa.
Namun bagaimana persepsi kalangan masyarakat muda khususnya masyarakat muda
Betawi Pondok Aren dalam hal nasionalisme dan kemerdekaan cukup menarik jika
kita juga menuangkannya dalam sebuah tulisan yang nyata.
Kemerdekaan dapat dikatakan sebuah hal yang merdeka
apabila telah memenuhi beberapa hal. Terlepas dari bebasnya bangsa dan Negara
dari belenggu penjajah, belum sempurna dikatakan merdeka apabila belum
dirasakan secara nyata kesejahteraan, keadilan, pendidikan, serta kesehatan
yang layak bagi setiap lapisan masyarakat, begitulah ujar Ustad. Imam Sihabudin
selaku perwakilan tokoh muda masyarakat Betawi Pondok Aren. Dewasa ini seiring
perkembangan zaman dari waktu ke waktu telah banyak menghasilkan tokoh-tokoh
kritis yang berasal dari masyarakat Betawi, tak terkecuali masyarakat Betawi
Pondok Aren.
Dalam konteks kajian peran kemerdekaan oleh kalangan
muda, masyarakat Betawi Pondok Aren menyadari pentingnya pendidikan bagi
generasi muda. Hal ini terbukti dengan banyaknya putra dan putri Betawi Pondok Aren yang
saat ini telah mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi baik negeri maupun
swasta. Bahkan tak sedikit pula kalangan muda Betawi Pondok Aren yang masuk ke
dalam dunia politik sebagai anggota dewan Perwakilan Daerah (DPRD) dalam rangka
menyampaikan suara dan aspirasi masyarakat guna mewujudkan arti kemerdekaan
yang telah disebutkan di atas. Selain itu Ustad. Imam Sihabudin menambahkan
peran yang harus dan sedang dilakukan oleh kalangan muda Betawi Pondok Aren
secara garis besar ialah bergerak, belajar, dan bekerja. Bergerak berarti harus
dapat melihat jauh ke arah
perkembangan ke depan; belajar berarti harus memiliki ilmu dan wawasan yang
cukup untuk bertindak; dan bekerja berarti harus mau membuat perubahan dan
bertindak untuk bangsa dan Negara.
[2]
Rahayu, Minto, 2007, Pendidikan
Kewarganegaraan Perjuangan Menghidupi Jati Diri Bangsa, Jakarta: Grasindo.,
dalam artikel online pada laman: Pengertian
Nasionalisme menurut para Ahli, http://www.pengertianahli.com/.
Diakses pada: Juni 2016.
[3]
Echols, John M., dan Hasan Shadily, Kamus
Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1983, cet. Ke-12, hal.426., yang
dikutip dalam: Saidun Derani, Ulama
Betawi Perspektif Sejarah, Jakarta: Fakultas Adab dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
[4] Maksud
penulis dengan mereka ialah
masyarakat Betawi Pondok Aren
[5] Maksud
dari masyarakat umum setempat ialah masyarakat Pondok Aren
[6] Akulturasi dapat didefinisikan sebagai proses sosial yang timbul
bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan
unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga
unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu
sendiri (Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1980)).
[7] Emak Haji adalah istilah
yang digunakan masyarakat Betawi untuk memanggil tokoh sesepuh dan juga telah
melaksanakan ibadah haji ke Mekkah.
[8] Bale adalah sebutan untuk
dipan tempat berbaring atau pembaringan.
Komentar
Posting Komentar